Minggu, 29 Juli 2012

Keterbatasan Sistem Just in Time dalam Perkembangan Usaha Kecil : Studi Kasus Warteg


Ibnu Wahyu Cahyono, Karya D.M. Sembiring, Luqman Nul Hakim
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Sering kita temui literatur yang membahas tentang konsep penggunaan metode Just in Time (JIT) dalam perusahaan-perusahaan besar seperti pada perusahaan Yamaha, KFC, Daihatsu, dan Toyota yang kapasitas produksinya dapat dikategorikan besar pertahunnya. Selain dari perusahaan manufaktur tersebut, sistem just in time pun juga mulai merambat ke perusahaan industri lainnya dan juga menarik penyedia jasa untuk mengadopsi sistem tersebut. Usaha jasa tersebut antara lain, meubel, gerai makanan siap saji ( fast food restaurant), kedai kopi dan lain-lain (Haming dan Nurnajamuddin, 2007: 295). Dalam penerapannya, JIT mampu mengefisienkan biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan terutama pada biaya untuk penyimpanan persediaan. JIT dipandang dapat mengurangi persediaan karena penimbunan persediaan dipandang sebagai pemborosan ( Charles dan James, 1987: 6,124).

Akan tetapi hal ini berbeda dengan kenyataan pada usaha kecil yang sering kita temui yaitu usaha warteg. Usaha warteg dapat menjadi representasi usaha kecil yang telah mengakar sebagai usaha yang menjadi andalan masyarakat dan dapat kita temui hingga pelosok Indonesia. Usaha warteg biasanya dimiliki dan dikontrol oleh keluarga sehingga usaha warteg lebih mengandalkan unsur permodalan dari dalam keluarga.
Dalam studi kasus kali ini, usaha warteg dianggap cukup mewakili dalam hal penggunaan sistem JIT dalam usaha-usaha kecil sejenisnya. Proses bisnis warteg sebenarnya telah mengadopsi teknik JIT terutama dalam persediaan bahan bakunya. Teknik JIT dalam usaha warteg sendiri dilakukan secara sederhana dengan keterbatasan sumber daya manusia. Hal yang paling tampak penggunaan teknik JIT pada proses bisnis warteg adalah terkait manajemen persediaan  bahan baku dari produk-produk warteg itu sendiri. Faktor biaya yang timbul dari persediaan bahan baku memberikan dampak yang signifikan terhadap laba dari usaha warteg itu sendiri. Tentunya teknik JIT yang telah digunakan oleh warteg juga berpengaruh dalam perkembangan bisnis warteg. Dalam perkembangannya, secara tidak langsung bisnis warteg sulit untuk berkembang jika menggunakan sistem JIT. Sistem JIT menyebabkan konsekuensi harga persediaan bahan baku yang berfluktuasi dan cenderung meningkat yang secara otomatis apabila harga bahan baku naik harga dari produk yang dihasilkan warteg itu juga mengikuti harga pasar. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan, di mana warteg di Indonesia memiliki pasar masyarakat menengah ke bawah yang sensitif terhadap harga sehingga warteg cenderung akan mempertahankan harga dan kualitas agar tidak kalah bersaing dengan warteg lainnya. Hal inilah yang menyebabkan keuntungan warteg akan menurun jika harga naik dan sulit untuk mengurangi penurunan keuntungan karena warteg akan berusaha untuk terus mempertahankan harga dan kualitas. Bahan baku yang sebagian besar berasal dari produk mentah pertanian dan peternakan yang cepat busuk juga mempengaruhi penggunaan teknik JIT dalam pengaturan persediaan. Permasalahan di atas yang dapat menjadi pembatas usaha warteg dalam berkembang. Dalam tulisan ini, pembahasan kasus JIT pada warteg menggunakan asumsi bahwa warteg hanya melakukan usaha penyediaan makanan dan minuman tanpa adanya delivery order sehingga mengabaikan biaya pengiriman kepada pelanggan.

Metode Just in Time
Sistem kendali persediaan JIT pertama kali dikembangkan di Jepang oleh Taiichi Okno, Vice President Toyota. Pada awalnya sistem ini disebut sistem Kanban, sesuai dengan nama kartu yang ditempatkan pada wadah komponen yang telah dipakai untuk memperlihatkan kebutuhan akan pasokan barang. Gagasan di balik sistem ini adalah bahwa perusahaan seharusnya menjaga persediaan pada tingkat minimal dan mengandalkan pemasok untuk mengisi kembali persediaan “seketika = just in time” persis sebelum dipakai di jalur perakitan atau produksi. Ini sangat berbeda dengan filosofi Amerika Serikat yang kadang kala disebut Just in Case yakni menjaga stok pengaman pada tingkat tertentu untuk menjamin agar produksi tidak mengalami interupsi atau penghentian produksi secara tiba-tiba. Sekalipun persediaan yang banyak tidak menjadi masalah besar pada saat tingkat bunga sedang rendah, tetapi akan menjadi sangat mahal manakala bunga sedang tinggi.
 Ditinjau dari pengertiannya, Just in Time (JIT) adalah filosofi yang dipusatkan pada pengurangan biaya melalui eliminasi persediaan. Semua bahan baku dan komponen lainnya sebaiknya tiba di lokasi kerja pada saat dibutuhkan. Produk yang diproduksi dalam JIT sebaiknya diselesaikan dan tersedia bagi pelanggan di saat pelanggan menginginkannya. Eliminasi persediaan di satu pihak dapat menghilangkan kebutuhan akan penyimpanan dan biaya penyimpanan. Namun, di lain pihak eliminasi persediaan tersebut juga menghilangkan perlindungan yang disediakan oleh persediaan terhadap kesalahan oleh produksi dan ketidakseimbangan jumlah output yang diminta oleh pelanggan. Akibatnya, diperlukan beban kerja bermutu tinggi dan seimbang dalam sistem JIT guna menghindari penghentian produksi yang berbiaya mahal serta kekecewaan pelanggan atas jumlah output yang tidak sesuai. Oleh karena membutuhkan kualitas dan output produksi yang seimbang, JIT seringkali dikaitkan dengan usaha untuk mengeliminasi pemborosan dalam segala bentuk, dan merupakan bagian yang penting dalam banyak usaha Total Quality Management.
Just in Time dapat juga diartikan sebagai suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen di mana segenap sumber daya dipakai hanya sebatas yang dibutuhkan atau dengan kata lain menghasilkan sebuah produk hanya jika dibutuhkan, hanya dalam kuantitas dan kualitas yang diminta oleh pelanggan yakni disesuaikan waktu, jumlah, dan kualitasnya dengan tepat. Sistem JIT juga merupakan salah satu upaya untuk mengurangi atau menghilangkan persediaan dalam hal ini adalah bahan baku, barang antara (Work in Process), dan barang jadi dalam usaha untuk memangkas biaya-biaya tersebut. Penerapan Just in Time bertujuan untuk meningkatkan keuntungan atau profit dengan cara sebagai berikut:
1.      meningkatkan produktivitas;
2.      mengurangi pemborosan.

Dengan adanya tujuan tersebut dibutuhkan beberapa aspek fundamental dalam penerapannya. Berikut aspek-aspek tersebut:
1. menghilangkan seluruh aktivitas yang tidak ada / memberikan nilai tambah bagi sebuah produk atau jasa;
2. komitmen manajemen dengan karyawan terhadap mutu yang tinggi;
3. upaya perbaikan yang berkelanjutan;
4. penekanan pada penyederhanaan;

Dengan demikian diharapkan tujuan-tujuan perusahaan terutama dalam meningkatkan laba dengan cara meminimalkan biaya, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan output dapat tercapai. Adapun beberapa karakteristik yang membedakan JIT dengan sistem lainnya adalah:
1. sistem tarik;
2. output tetap;
3. persediaan tidak signifikan;
4. pemasok yang sedikit jumlahnya;
5. adanya kontrak dengan pemasok jangka panjang;
6. tenaga kerja mutifungsi;
7. Total Quality Management;
8. dominasi penelusuran langsung (perhitungan biaya produk).


Keunggulan dan Kelemahan Sistem JIT
          Keunggulan dari metode ini adalah dapat mengurangi biaya tenaga kerja, persediaan, risiko kerusakan, dan peningkatan kualitas produk. Keunggulan tersebut seiring dengan adanya Total Quality Management dalam penerapan sistem JIT sehingga risiko kerusakan dapat ditekan dan kerugian akibat retur barang rusak oleh pelanggan dapat dikurangi karena Total Quality Management juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas dari produk.  Selain itu, biaya tenaga kerja dapat ditekan karena jumlah persediaan diusahakan menjadi seminim mungkin sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan dalam mengawasi tidak perlu dalam jumlah yang banyak. Biaya penyimpanan juga dapat ditekan hingga seminimal mungkin akibat dari persediaan yang disimpan juga sedikit.
          Kelemahan dari metode ini adalah sulit mencari pemasok, biaya pengiriman tinggi, kesulitan menghadapi perubahan permintaan, tuntutan sumber daya manusia yang multifungsi, dan perlengkapan teknologi yang membutuhkan biaya besar. Dalam JIT pemasok merupakan faktor penting dalam persediaan di mana selain berpengaruh terhadap penyediaan persediaan stok juga berpengaruh dalam harga dari persediaan yang akan dibeli. Permasalahannya adalah sulitnya mencari pemasok terutama usaha seperti warteg. Hal inilah yang menjadi kendala warteg dalam mengendalikan harga persediaan. Harga persediaan secara langsung akan mempengaruhi harga pokok produksi. Semakin tinggi harga beli persediaan akan turut meningkatkan harga pokok penjualan. Jika ingin keuntungan meningkat, maka warteg harus menaikkan harga. Namun, warteg akan lebih memilih harga yang tetap agar dapat bersaing dengan harga di warteg lain. Pelanggan menjadi prioritas utama dalam bisnis usaha warteg. Sebab menggunakan JIT, warteg menjadi kesulitan dalam meramalkan permintaan. Hal ini juga akan menjadi biaya yang terbuang percuma jika warteg tidak dapat menjual seluruh produksi yang telah ditetapkan. Terkait dengan bagaimana untuk mengecilkan biaya-biaya seperti biaya penyimpanan, sistem JIT justru tinggi. Hal ini dikarenakan adanya permintaan barang untuk dikirim dalam waktu yang terkadang tidak dapat ditentukan dan cenderung tiba-tiba sehingga dalam prakteknya biaya pengiriman relatif lebih tinggi. Sistem JIT juga mewajibkan akan adanya teknologi yang tinggi. Sebab, dengan permintaan yang cenderung cepat dan tiba-tiba serta tidak membutuhkan waktu yang relatif lama maka teknologi tinggi serta sumber daya manusia yang multifungsi merupakan hal yang sangat penting untuk dipenuhi. Namun, sayangnya dalam penerapannya kedua hal tersebut sulit untuk dipenuhi karena keterbatasan dalam penerapan teknologi dan sulit mencari sumber daya yang berkompeten dan multifungsi.

Warteg (Warung Tegal)
          Warteg adalah usaha berskala menengah ke bawah yang usahanya bergerak dibidang food and beverage dan merupakan salah satu jenis usaha gastronomi yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau yakni untuk melayani masyarakat menengah ke bawah. Usaha warteg biasanya dimiliki dan dikelola oleh keluarga atau kerabat dekat sehingga usaha ini biasanya menanamkan nilai-nilai kultur dalam keluarga. Warteg telah menjadi bisnis keluarga yang membudaya di Indonesia dan dapat ditemui hingga pelosok daerah.
          Proses produksi warteg dimulai dari proses pembelian bahan-bahan masakan dengan jumlah yang telah disesuaikan dengan permintaan pelanggan. Permintaan pelanggan tersebut disesuaikan berdasarkan pengalaman penjualan makanan dan minuman rata-rata dalam satu hari. Jumlah ini ditaksir secara tetap perharinya dalam setiap melakukan proses produksi. Proses selanjutnya adalah mengolah bahan-bahan tersebut untuk dapat diproduksi menjadi output berupa makanan dan minuman. Dalam proses produksi ini, bahan-bahan yang telah dibeli diusahakan semuanya diproduksi menjadi output dan tidak ada yang menjadi persediaan bahan baku sehingga terjadi keefisienan dalam pengolahan tempat penyimpanan bahan baku. Proses berikutnya dari alur usaha warteg adalah melakukan penjualan makanan dan minuman yang telah diproduksi tadi. Penjualan ini dilakukan secara langsung kepada pelanggan dan tidak ada proses pengiriman makanan dan minuman kepada pelanggan secara langsung atau sering dikenal dengan nama delivery order.

Penerapan JIT pada Warteg
          Sistem JIT yang kerap digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar ternyata telah ada dalam proses produksi warteg. Penerapan JIT dalam warteg terlihat pada alur persediaan. Ketika melakukan pembelian bahan baku untuk produksi, warteg berusaha untuk membelinya dengan jumlah yang telah ditentukann dan relatif tetap untuk setiap pembelian setiap harinya sebagai karakteristik utama dari sistem JIT. Selain itu, penerapan sistem ini dapat dilihat ketika usaha warteg melakukan kontrak pembelian dengan pemasok yakni biasanya pemilik warteg telah mengenal baik pemasok dan telah menjalin hubungan kerjasama dalam waktu yang cukup lama dan ini juga merupakan karakteristik utama dari sistem JIT.
Pengusaha warteg berusaha seminimal mungkin untuk menekan biaya incremental terkait proses penyimpanan persediaan bahan baku. Hal ini disebabkan bahan baku dari produk yang diproduksi warteg sebagian besar tidak tahan lama karena bahan baku diperoleh langsung dari hasil produksi kegiatan agraris seperti sayuran, daging, telur, dan lain-lain. Oleh karena itu, pengelola warteg cenderung membeli bahan mentah sesuai dengan jumlah output yang ingin dihasilkan sesuai permintaan rata-rata harian. Terkadang ada warteg yang memang tidak melakukan penyimpanan persediaan, dengan kata lain bahan mentah yang dibeli harus cepat habis.
Sistem JIT yang diterapkan seperti ini sangat rentan ketika terjadi fluktuasi harga bahan baku produksi sebab dengan adanya fluktuasi harga maka biaya terkait bahan baku akan meningkat dan menyebabkan meningkatnya harga pokok penjualan. Oleh karena bisnis warteg tergolong dalam pasar persaingan sempurna, masing-masing warteg akan berusaha untuk tetap menjaga harga produk makanan dan minuman yang diproduksi agar tetap pada harga pasar sehingga profit yang seharusnya didapatkan menjadi berkurang. Akibat profit yang cenderung berfluktuatif akibat harga pasaran bahan baku dan kesulitan untuk meramalkan permintaan secara tepat yang berakibat pada biaya produksi  yang terbuang  percuma maka usaha warteg sulit melakukan ekspansi usaha lantaran profit merupakan sumber investasi internal yang menjadi andalan pengelola dan pemilik warteg.

Kesimpulan
          Sistem JIT yang dipandang sebagai sistem yang mampu berperan dalam meminimalkan biaya, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan output, ternyata tidak sepenuhnya berpengaruh pada semua jenis usaha. Studi kasus di atas menunjukkan bahwa penerapan sistem JIT ternyata dapat membatasi perkembangan suatu usaha terutama usaha kecil misalnya usaha warteg pada khususnya. Hal ini diterangkan melalui sistem harga bahan baku di pasar yang fluktuatif, kesulitan menghadapi perubahan permintaan, sulit mencari pemasok yang selalu siap dalam melakukan transaksi terkait penyediaan persediaan bahan baku, sistem persaingan sempurna yang membuat harga bersifat rigid.

Referensi
Carter, William K. 2009. Akuntansi Biaya. Salemba Empat. Jakarta
Keown, Arthur J. dkk. 2005. Prinsip dan Penerapan Manajemen Keuangan. Gramedia. Jakarta
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta

Kamis, 29 Maret 2012

Tolong Jangan Lupakan Internet!


      Internet. Siapa yang tidak mengenal kata "internet" di masa sekarang? Sebagian besar masyarakat dunia mengenal istilah tersebut bahkan di negeri demokrasi seperti Indonesia pada tahun 2011 kemarin pengguna internet naik sekitar 13 juta pengguna sehingga menjadi sekitar 55 juta pengguna menurut sumber web Kompas Tekno. Tentunya peningkatan ini ditunjang oleh perluasan akses internet dari Sabang sampai Merauke oleh operator telekomunikasi yang selain alasan komersial juga membantu kita untuk mendapatkan informasi yang cepat. Kita mengenal situs terkenal yang mampu meraup keuntungan yang fantastis seperti facebook, twitter, ebay, paypal, koprol, kaskus, dan lain-lain. Tentunya pendapatan mereka akan terus meningkat di mana masyarakat pengguna internet akan terus naik akibat kebutuhan akan informasi yang cepat dan tepat untuk mereka. Berawal dari kebutuhan akan informasi inilah banyak pihak mulai media pers hingga perorangan membantu menyediakan fasilitas untuk membantu penyebaran informasi yang akhirnya membantu dalam proses kebebasan berpendapat yang merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari demokrasi di negeri ini.
      Demokrasi dan internet adalah hal yang sekarang menjadi lumrah  karena masih sedikit aturan yang membatasi hak berpendapat seseorang di mana hal ini menjadi "legal" untuk berpendapat demi suatu perubahan. Adapun sedikit pembatasan dalam berpendapat ini akan membuat siapapun yang merusak kebebasan berpendapat akan langsung mendapat kritikan, cemoohan, bahkan hinaan seperti kasus Prita Mulyasari dengan RS. Omni Internasional. Internet merupakan sarana ampuh bahkan ditakuti oleh negara-negara di dunia bahkan negara seperti Republik Rakyat Tiongkok dan Arab Saudi yang berusaha mengurangi akses internet warga negaranya. Internet pernah membuat tumbang pemimpin Hosni Mubarrak tumbang namun mampu memenangkan presiden Barrack Obama untuk menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat.
       Keberadaan internet memang tak terbendung lagi dan sangat dibutuhkan masyarakat bahkan mulai tingkat politisi hingga birokrasi pemerintah mulai mentransformasi diri menjadi manusia dunia maya contohnya saja Marissa Haque yang berhasil memopulerkan kembali kamseupay, Tifatul Sembiring dengan komentar tweetnya yang terkadang kontroversial, Indra Bekti yang menjual tweetnya sehingga meraih keuntungan, dan lain-lain.
       Menanggapi demo yang sering dilakukan mahasiswa, sebenarnya membuat saya miris. kenapa tidak menggunakan internet yang membuat efisien dalam penyampaian pendapat. Tidak perlu berpanas-panasan di jalan karena kita tidak tahu suara kita akan sampai ke telinga yang dituju atau tidak. Kalaupun sampai ke telinga yang dituju, belum tentu akan ditindaklanjuti sama seperti kejadian Pak Indra Azwan yang berjalan kaki dari Malang ke Jakarta mencari keadilan dan balasannya hanya dikasih uang pengganti. Saya mengapresiasi tindakan mahasiswa ataupun siapapun yang menyampaikan kritikan kepada pemerintah dan tentunya harus ada solusi yang ditawarkan yang menyampaikannya melalui blog atau forum di internet. Menurut saya, terlihat lebih cerdas daripada harus turun ke jalan dan menghabiskan uang negara untuk polisi yang mengantisipasi tindakan anarkis, rusaknya aset negara, korban dari anarkisme pendemo, sewa watercannon dan juga merugikan perekonomian negara, rakyat kecil, dan para buruh penghasilan rendah yang sangat membutuhkan uang dari produksi dan distribusi barang. Kita pun mengetahui bahwa setiap ada demo akan terjadi kemacetan dan terkadang berujung anarkis, dari situlah sebagai mahasiswa yang dipandang sebagai cendekiawan muda, alangkah baiknya jika kita cerdas dalam menyampaikan pendapat. Internet merupakan cara yang ampuh dan bisa "didengar", "dilihat", dan "disebarkan" di negeri ini bahkan di dunia internasional. Secara tidak langsung pendapat kita akan memperoleh tanggapan beragam, justru karena ada tanggapan yang peragam inilah yang membuat tulisan kita dibaca dan pendapat kita menjadi didengar bahkan syukur-syukur diekspos media. Positifnya lagi, semakin banyak yang ramai mengunjungi web atau blog yang kalian buat, kalian juga dapat mendapat keuntungan darinya, mungkin dari pasang iklan atau cara kreatif yang lain.

Oleh karena itu, tolong jangan lupakan keberadaan internet! Dilihat dari efisiensi dan benefit yang didapat jauh lebih menguntungkan bukan? Namun, itu kembali pada diri masing-masing karena sesungguhnya ini pendapat saya saja menanggapi demo anti kenaikan BBM yang ada.

@ibnuwc
   


http://tekno.kompas.com/read/2011/10/28/16534635/Naik.13.Juta..Pengguna.Internet.Indonesia.55.Juta.Orang
http://www.iskaruji.com/2011/02/facebook-memang-super-ampuh.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Sakit_Omni_Internasional
http://milimeterst.wordpress.com/2012/03/19/indra-azwan-jalan-kaki-malang-jakarta-mencari-keadilan/

Rabu, 15 Februari 2012

Made in China, Antara "Gengsi" dan "Kebutuhan"

"Made in China, dulu sih kenalnya tulisan itu hanya di produk mainan saja. Sekarang, hampir sebagian barang di toko ada cap Made in China."


Produk cina merupakan barang yang kini merajalela di tengah perekonomian negara-negara dunia baik yang sedang menikmati krisis ekonomi akibat kesalahan masa lalu, ataupun yang sedang waspada mengawasi pertumbuhan jangka pendeknya. Produk yang kini menjadi paradoks kehidupan. Dibeli karena "kebutuhan" ataupun dijauhi karena "gengsi".

Indonesia merupakan negara yang unik pasarnya, di mana masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda Jakarta misalnya yang masyarakatnya tergolong Branded Oriented, Begitupula dengan Surabaya yang terkenal di kalangan pengusaha mall bahwa masyrakatnya tergolong kategori Price Sensitive.  Tapi menurut saya lambat laun pola pikir masyrakat akan cenderung menuju Branded Oriented karena arus informasi yang mengalir tanpa batas terutama di daerah perkotaan besar.


Branded Oriented inilah yang akhirnya menciptakan China's Paradox di mana sekarang barang Made in China yang dapat dikatakan memiliki kualitas sama dengan merk Branded bahkan lebih bagus sepertinya masih dianggap barang inferior oleh masyarakat di dunia. Mungkin penyebabnya karena faktor track record barang dari Cina tersebut yang dulu terkenal kualitasnya buruk, harga murah sehingga menjadikan barang tersebut "terlihat murah", atau adanya sifat gengsi di kalangan masyarakat. Mungkin yang terakhir bisa jadi memang ada di sebagian besar orang.

Ok, setidaknya stigma ini menciptakan suatu kasta dalam barang-barang yang dijual di Indonesia. Namun, perlu diketahui bahwa sebagian besar merk branded yang kita gunakan merupakan rakitan dari China yang tampaknya membutakan kita dengan logo merk Internasional. Coba Anda periksa laptop yang sekarang digunakan saya yakin ada beberapa komponen hingga sebagian besar komponen bertuliskan Made in China. Sehingga kurang pantas kiranya jika kita menghujat produk Cina untuk saat ini. Kemajuan ekonomi dan teknologi Cina sekarang telah diakui dunia bahkan oleh kita sendiri. Keberadaan barang Cina yang murah dengan kualitas sama dengan International Branded setidaknya membantu masyarakat kita untuk berhemat dan seharusnya kita patut bersyukur dengan adanya produk ini karena secara tidak langsung masyarakat dapat mendapat keuntungan mencicipi teknologi dengan harga yang tak terlampau mahal.
Jadi apakah Anda termasuk "berbelanja berdasarkan gengsi" atau "berbelanja karena kebutuhan"?

@ibnuwc

Jumat, 10 Februari 2012

Konsumtif Boleh, Tapi ...

Siapa sih yang tidak memiliki sifat konsumtif? Sebagian besar manusia tercipta dengan kondisi konsumtif. Bahkan dengan sifat konsumtif ini, banyak orang berinovasi untuk membuat agar sumber daya yang ada mampu menampung keinginan kita. Yeah, memang manusia disebut sebagai homo economicus yang identik dengan pengorbanan yang dikeluarkan sedikit namun keuntungan yang didapat harus lebih besar.

Di era modern seperti ini, perilaku konsumtif udah biasa dan wajar, kalau tidak melakukan konsumsi susah untuk bertahan bahkan seorang pengemis di jalan pun melakukan hal ini. Konsumtif di sini identik dengan pengeluaran uang di dompet. Sebagai mahasiswa dengan otak pas-pasan yang tinggal di rumah kos seperti saya, sangat paham betul bagaimana susahnya ketika kiriman habis, ingin bekerja takut kuliah terganggu. Sat-satunya jalan yang halal ya mengatur pengeluaran. Jujur saya sebagai penulis orangnya boros kalau masalah beli   sesuatu yang dilihat dan sangat memikat mata. Hehe . Susah memang untuk menghilangkan karena memang udah kodrat dari lahir. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Namun sebelum menjawab, jangan anggap konsumtif itu penyakit namun manfaatkan sifat boros kita tadi. Berikut tips dari saya :

Menabung Itu Penting!


Hal yang terlintas bagi orang yang terdeteksi bermasalah dengan sifat boros adalah memandang uang yang diterima harus segera dibelanjakan hingga akhirnya tidak terkontrol. Ok, sekarang ganti pola pikir dengan prioritas menyisihkan uang dulu. Tidak perlu jauh-jauh harus ke bank, cukup letakkan celengan di tempat di mana anda sering berada di tempat itu jika di rumah sehingga secara tidak langsung akan memberikan efek psikis kepada anda untuk menjalankan terapi ini. Untuk tahap selanjutnya, kalian bisa menabung di bank dan pisahkan mana tabungan untuk konsumsi dengan tabungan untuk benar-benar simpanan untuk ke depan.

Buat Daftar Kebutuhan dan Keinginan!

Daftar Kebutuhan dan Keinginan ini sangat membantu sekali untuk memanfaatkan sifat boros kita. Daftar kebutuhan ini berisi semua yang harus kita beli, jika tidak ada barang ini maka akan mengurangi produktivitas kita dalam menjalani aktivitas. Contoh barang yang termasuk kebutuhan adalah alat-alat mandi, buku kuliah, dll.  Daftar keinginan adalah daftar barang setelah kita berhasil memenuhi semua barang kebutuhan kita. Barang yang termasuk barang keinginan seperti sepatu baru padahal kita sudah punya yang masih bisa digunakan. Ingat! prioritaskan kebutuhan bukan keinginan dan masukkan sesuai dengan harga barang-barang yang Anda tulis di daftar dengan harga sesungguhnya. Perlu diingat, ketika merancang daftar ini, hilangkan rasa gengsi karena akan merusak strategi Anda. Tulis semuanya di kertas yang mudah terlihat oleh Anda dan setiap akan membeli barang. Jangan malu untuk membuka list yang  Anda buat tadi ketika berada di supermarket. Dari daftar tersebut, Anda bisa mengukur seberapa besar pengeluaran yang Anda keluarkan dari kegiatan menyusun daftar ini, kita mulai belajar mengatur sifat boros yang kita miliki.

Ayo Berinvestasi!

Investasi itu mahal sepertinya udah tidak berlaku lagi di negeri ini. Banyak bank atau koperasi di negeri ini yang memberi kemudahan untuk berinvestasi dengan dana minim, contohnya dengan menabung di koperasi, anda akan mendapat hasil tambahan dari Sisa Hasil Usaha yang diberikan. Lumayan, menambah pendapatan. Contoh produk investasi lainnya seperti deposito, reksadana, saham, dll.

Berbagi itu perlu lho...

Boros berawal dari terlalu banyak keinginan kita dan kita terlalu egois untuk melihat keadaan orang lain di sekitar kita. Berbagi tidak hanya bersedekah, namun juga bisa mentraktir teman. Dengan berbagi, secara langsung akan mengurangi sifat serakah kita terhadap suatu hal. Selain menghilangkan sifat tamak, berbagi dapat mempererat tali persaudaraan. Udah tahu kan bagaimana enaknya jika memiliki teman berkualitas yang banyak. hehe

Sebenarnya masih banyak tips-tips lainnya dari saya. Namun, saya prioritaskan yang ini dulu karena memang telah saya coba sendiri dan berhasil. Perlu diingat, Semuanya akan berakhir sia-sia jika hanya berakhir dengan pemikiran. Apabila ingin berhasil, kita harus dan wajib melakukan aksi nyata. Semoga coretan pertama saya ini bermanfaat.

@ibnuwc