Ibnu
Wahyu Cahyono, Karya D.M. Sembiring, Luqman Nul Hakim
Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara
Sering kita temui literatur yang
membahas tentang konsep penggunaan metode Just
in Time (JIT) dalam perusahaan-perusahaan besar seperti pada perusahaan
Yamaha, KFC, Daihatsu, dan Toyota yang kapasitas produksinya dapat dikategorikan
besar pertahunnya. Selain dari perusahaan manufaktur tersebut, sistem just in time pun juga mulai merambat ke
perusahaan industri lainnya dan juga menarik penyedia jasa untuk mengadopsi
sistem tersebut. Usaha jasa tersebut antara lain, meubel, gerai makanan siap
saji ( fast food restaurant), kedai
kopi dan lain-lain (Haming dan Nurnajamuddin, 2007: 295). Dalam penerapannya,
JIT mampu mengefisienkan biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan terutama pada
biaya untuk penyimpanan persediaan. JIT dipandang dapat mengurangi persediaan
karena penimbunan persediaan dipandang sebagai pemborosan ( Charles
dan James, 1987: 6,124).
Akan tetapi hal ini berbeda dengan
kenyataan pada usaha kecil yang sering kita temui yaitu usaha warteg. Usaha
warteg dapat menjadi representasi usaha kecil yang telah mengakar sebagai usaha
yang menjadi andalan masyarakat dan dapat kita temui hingga pelosok Indonesia.
Usaha warteg biasanya dimiliki dan dikontrol oleh keluarga sehingga usaha
warteg lebih mengandalkan unsur permodalan dari dalam keluarga.
Dalam studi kasus kali ini, usaha warteg
dianggap cukup mewakili dalam hal penggunaan sistem JIT dalam usaha-usaha kecil
sejenisnya. Proses bisnis warteg sebenarnya telah mengadopsi teknik JIT
terutama dalam persediaan bahan bakunya. Teknik JIT dalam usaha warteg sendiri
dilakukan secara sederhana dengan keterbatasan sumber daya manusia. Hal yang
paling tampak penggunaan teknik JIT pada proses bisnis warteg adalah terkait
manajemen persediaan bahan baku dari
produk-produk warteg itu sendiri. Faktor biaya yang timbul dari persediaan
bahan baku memberikan dampak yang signifikan terhadap laba dari usaha warteg
itu sendiri. Tentunya teknik JIT yang telah digunakan oleh warteg juga
berpengaruh dalam perkembangan bisnis warteg. Dalam perkembangannya, secara
tidak langsung bisnis warteg sulit untuk berkembang jika menggunakan sistem
JIT. Sistem JIT menyebabkan konsekuensi harga persediaan bahan baku yang
berfluktuasi dan cenderung meningkat yang secara otomatis apabila harga bahan
baku naik harga dari produk yang dihasilkan warteg itu juga mengikuti harga
pasar. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan, di mana warteg
di Indonesia memiliki pasar masyarakat menengah ke bawah yang sensitif terhadap
harga sehingga warteg cenderung akan mempertahankan harga dan kualitas agar
tidak kalah bersaing dengan warteg lainnya. Hal inilah yang menyebabkan
keuntungan warteg akan menurun jika harga naik dan sulit untuk mengurangi
penurunan keuntungan karena warteg akan berusaha untuk terus mempertahankan
harga dan kualitas. Bahan baku yang sebagian besar berasal dari produk mentah
pertanian dan peternakan yang cepat busuk juga mempengaruhi penggunaan teknik
JIT dalam pengaturan persediaan. Permasalahan di atas yang dapat menjadi
pembatas usaha warteg dalam berkembang. Dalam tulisan ini, pembahasan kasus JIT
pada warteg menggunakan asumsi bahwa warteg hanya melakukan usaha penyediaan
makanan dan minuman tanpa adanya delivery
order sehingga mengabaikan biaya pengiriman kepada pelanggan.
Metode Just in Time
Sistem kendali persediaan JIT pertama
kali dikembangkan di Jepang oleh Taiichi Okno, Vice President Toyota. Pada awalnya sistem ini disebut sistem
Kanban, sesuai dengan nama kartu yang ditempatkan pada wadah komponen yang
telah dipakai untuk memperlihatkan kebutuhan akan pasokan barang. Gagasan di
balik sistem ini adalah bahwa perusahaan seharusnya menjaga persediaan pada
tingkat minimal dan mengandalkan pemasok untuk mengisi kembali persediaan
“seketika = just in time” persis
sebelum dipakai di jalur perakitan atau produksi. Ini sangat berbeda dengan
filosofi Amerika Serikat yang kadang kala disebut Just in Case yakni menjaga stok pengaman pada tingkat tertentu
untuk menjamin agar produksi tidak mengalami interupsi atau penghentian
produksi secara tiba-tiba. Sekalipun persediaan yang banyak tidak menjadi
masalah besar pada saat tingkat bunga sedang rendah, tetapi akan menjadi sangat
mahal manakala bunga sedang tinggi.
Ditinjau dari pengertiannya, Just in Time (JIT) adalah filosofi yang
dipusatkan pada pengurangan biaya melalui eliminasi persediaan. Semua bahan
baku dan komponen lainnya sebaiknya tiba di lokasi kerja pada saat dibutuhkan.
Produk yang diproduksi dalam JIT sebaiknya diselesaikan dan tersedia bagi
pelanggan di saat pelanggan menginginkannya. Eliminasi persediaan di satu pihak
dapat menghilangkan kebutuhan akan penyimpanan dan biaya penyimpanan. Namun, di
lain pihak eliminasi persediaan tersebut juga menghilangkan perlindungan yang
disediakan oleh persediaan terhadap kesalahan oleh produksi dan
ketidakseimbangan jumlah output yang diminta oleh pelanggan. Akibatnya,
diperlukan beban kerja bermutu tinggi dan seimbang dalam sistem JIT guna
menghindari penghentian produksi yang berbiaya mahal serta kekecewaan pelanggan
atas jumlah output yang tidak sesuai. Oleh karena membutuhkan kualitas dan
output produksi yang seimbang, JIT seringkali dikaitkan dengan usaha untuk
mengeliminasi pemborosan dalam segala bentuk, dan merupakan bagian yang penting
dalam banyak usaha Total Quality
Management.
Just
in Time dapat juga diartikan sebagai suatu keseluruhan
filosofi operasi manajemen di mana segenap sumber daya dipakai hanya sebatas
yang dibutuhkan atau dengan kata lain menghasilkan sebuah produk hanya jika
dibutuhkan, hanya dalam kuantitas dan kualitas yang diminta oleh pelanggan
yakni disesuaikan waktu, jumlah, dan kualitasnya dengan tepat. Sistem JIT juga
merupakan salah satu upaya untuk mengurangi atau menghilangkan persediaan dalam
hal ini adalah bahan baku, barang antara (Work
in Process), dan barang jadi dalam usaha untuk memangkas biaya-biaya
tersebut. Penerapan Just in Time
bertujuan untuk meningkatkan keuntungan atau profit dengan cara sebagai berikut:
1.
meningkatkan produktivitas;
2.
mengurangi pemborosan.
Dengan adanya tujuan tersebut dibutuhkan beberapa aspek fundamental dalam penerapannya. Berikut aspek-aspek tersebut:
1. menghilangkan seluruh aktivitas yang tidak ada / memberikan nilai tambah bagi sebuah produk atau jasa;
2. komitmen manajemen dengan karyawan terhadap mutu yang tinggi;
3. upaya perbaikan yang berkelanjutan;
4. penekanan pada penyederhanaan;
Dengan
demikian diharapkan tujuan-tujuan perusahaan terutama dalam meningkatkan laba
dengan cara meminimalkan biaya, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan output
dapat tercapai. Adapun beberapa karakteristik yang membedakan JIT dengan sistem
lainnya adalah:
1. sistem tarik;
2. output tetap;
3. persediaan tidak signifikan;
4. pemasok yang sedikit jumlahnya;
5. adanya kontrak dengan pemasok jangka panjang;
6. tenaga kerja mutifungsi;
7. Total Quality Management;
8. dominasi penelusuran langsung (perhitungan biaya produk).
1. sistem tarik;
2. output tetap;
3. persediaan tidak signifikan;
4. pemasok yang sedikit jumlahnya;
5. adanya kontrak dengan pemasok jangka panjang;
6. tenaga kerja mutifungsi;
7. Total Quality Management;
8. dominasi penelusuran langsung (perhitungan biaya produk).
Keunggulan
dan Kelemahan Sistem JIT
Keunggulan dari metode ini adalah
dapat mengurangi biaya tenaga kerja, persediaan, risiko kerusakan, dan
peningkatan kualitas produk. Keunggulan tersebut seiring dengan adanya Total Quality Management dalam penerapan
sistem JIT sehingga risiko kerusakan dapat ditekan dan kerugian akibat retur
barang rusak oleh pelanggan dapat dikurangi karena Total Quality Management juga menitikberatkan pada peningkatan
kualitas dari produk. Selain itu, biaya
tenaga kerja dapat ditekan karena jumlah persediaan diusahakan menjadi seminim
mungkin sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan dalam mengawasi tidak perlu dalam
jumlah yang banyak. Biaya penyimpanan juga dapat ditekan hingga seminimal
mungkin akibat dari persediaan yang disimpan juga sedikit.
Kelemahan dari metode ini adalah sulit
mencari pemasok, biaya pengiriman tinggi, kesulitan menghadapi perubahan
permintaan, tuntutan sumber daya manusia yang multifungsi, dan perlengkapan
teknologi yang membutuhkan biaya besar. Dalam JIT pemasok merupakan faktor
penting dalam persediaan di mana selain berpengaruh terhadap penyediaan
persediaan stok juga berpengaruh dalam harga dari persediaan yang akan dibeli.
Permasalahannya adalah sulitnya mencari pemasok terutama usaha seperti warteg.
Hal inilah yang menjadi kendala warteg dalam mengendalikan harga persediaan.
Harga persediaan secara langsung akan mempengaruhi harga pokok produksi.
Semakin tinggi harga beli persediaan akan turut meningkatkan harga pokok
penjualan. Jika ingin keuntungan meningkat, maka warteg harus menaikkan harga.
Namun, warteg akan lebih memilih harga yang tetap agar dapat bersaing dengan
harga di warteg lain. Pelanggan menjadi prioritas utama dalam bisnis usaha
warteg. Sebab menggunakan JIT, warteg menjadi kesulitan dalam meramalkan
permintaan. Hal ini juga akan menjadi biaya yang terbuang percuma jika warteg
tidak dapat menjual seluruh produksi yang telah ditetapkan. Terkait dengan
bagaimana untuk mengecilkan biaya-biaya seperti biaya penyimpanan, sistem JIT
justru tinggi. Hal ini dikarenakan adanya permintaan barang untuk dikirim dalam
waktu yang terkadang tidak dapat ditentukan dan cenderung tiba-tiba sehingga
dalam prakteknya biaya pengiriman relatif lebih tinggi. Sistem JIT juga
mewajibkan akan adanya teknologi yang tinggi. Sebab, dengan permintaan yang
cenderung cepat dan tiba-tiba serta tidak membutuhkan waktu yang relatif lama
maka teknologi tinggi serta sumber daya manusia yang multifungsi merupakan hal
yang sangat penting untuk dipenuhi. Namun, sayangnya dalam penerapannya kedua
hal tersebut sulit untuk dipenuhi karena keterbatasan dalam penerapan teknologi
dan sulit mencari sumber daya yang berkompeten dan multifungsi.
Warteg
(Warung Tegal)
Warteg adalah usaha berskala menengah
ke bawah yang usahanya bergerak dibidang food
and beverage dan merupakan salah satu jenis usaha gastronomi yang
menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau yakni untuk melayani
masyarakat menengah ke bawah. Usaha warteg biasanya dimiliki dan dikelola oleh
keluarga atau kerabat dekat sehingga usaha ini biasanya menanamkan nilai-nilai
kultur dalam keluarga. Warteg telah menjadi bisnis keluarga yang membudaya di
Indonesia dan dapat ditemui hingga pelosok daerah.
Proses produksi warteg dimulai dari
proses pembelian bahan-bahan masakan dengan jumlah yang telah disesuaikan
dengan permintaan pelanggan. Permintaan pelanggan tersebut disesuaikan
berdasarkan pengalaman penjualan makanan dan minuman rata-rata dalam satu hari.
Jumlah ini ditaksir secara tetap perharinya dalam setiap melakukan proses
produksi. Proses selanjutnya adalah mengolah bahan-bahan tersebut untuk dapat
diproduksi menjadi output berupa makanan dan minuman. Dalam proses produksi
ini, bahan-bahan yang telah dibeli diusahakan semuanya diproduksi menjadi
output dan tidak ada yang menjadi persediaan bahan baku sehingga terjadi
keefisienan dalam pengolahan tempat penyimpanan bahan baku. Proses berikutnya
dari alur usaha warteg adalah melakukan penjualan makanan dan minuman yang
telah diproduksi tadi. Penjualan ini dilakukan secara langsung kepada pelanggan
dan tidak ada proses pengiriman makanan dan minuman kepada pelanggan secara
langsung atau sering dikenal dengan nama delivery
order.
Penerapan
JIT pada Warteg
Sistem JIT yang kerap digunakan oleh
perusahaan-perusahaan besar ternyata telah ada dalam proses produksi warteg.
Penerapan JIT dalam warteg terlihat pada alur persediaan. Ketika melakukan
pembelian bahan baku untuk produksi, warteg berusaha untuk membelinya dengan
jumlah yang telah ditentukann dan relatif tetap untuk setiap pembelian setiap
harinya sebagai karakteristik utama dari sistem JIT. Selain itu, penerapan
sistem ini dapat dilihat ketika usaha warteg melakukan kontrak pembelian dengan
pemasok yakni biasanya pemilik warteg telah mengenal baik pemasok dan telah
menjalin hubungan kerjasama dalam waktu yang cukup lama dan ini juga merupakan
karakteristik utama dari sistem JIT.
Pengusaha warteg berusaha seminimal
mungkin untuk menekan biaya incremental terkait
proses penyimpanan persediaan bahan baku. Hal ini disebabkan bahan baku dari
produk yang diproduksi warteg sebagian besar tidak tahan lama karena bahan baku
diperoleh langsung dari hasil produksi kegiatan agraris seperti sayuran,
daging, telur, dan lain-lain. Oleh karena itu, pengelola warteg cenderung
membeli bahan mentah sesuai dengan jumlah output yang ingin dihasilkan sesuai
permintaan rata-rata harian. Terkadang ada warteg yang memang tidak melakukan
penyimpanan persediaan, dengan kata lain bahan mentah yang dibeli harus cepat
habis.
Sistem JIT yang diterapkan seperti ini
sangat rentan ketika terjadi fluktuasi harga bahan baku produksi sebab dengan
adanya fluktuasi harga maka biaya terkait bahan baku akan meningkat dan
menyebabkan meningkatnya harga pokok penjualan. Oleh karena bisnis warteg
tergolong dalam pasar persaingan sempurna, masing-masing warteg akan berusaha
untuk tetap menjaga harga produk makanan dan minuman yang diproduksi agar tetap
pada harga pasar sehingga profit yang seharusnya didapatkan menjadi berkurang. Akibat
profit yang cenderung berfluktuatif akibat harga pasaran bahan baku dan
kesulitan untuk meramalkan permintaan secara tepat yang berakibat pada biaya
produksi yang terbuang percuma maka usaha warteg sulit melakukan ekspansi
usaha lantaran profit merupakan sumber investasi internal yang menjadi andalan
pengelola dan pemilik warteg.
Kesimpulan
Sistem JIT yang dipandang sebagai
sistem yang mampu berperan dalam meminimalkan biaya, meningkatkan efisiensi,
dan meningkatkan output, ternyata tidak sepenuhnya berpengaruh pada semua jenis
usaha. Studi kasus di atas menunjukkan bahwa penerapan sistem JIT ternyata
dapat membatasi perkembangan suatu usaha terutama usaha kecil misalnya usaha
warteg pada khususnya. Hal ini diterangkan melalui sistem harga bahan baku di
pasar yang fluktuatif, kesulitan menghadapi perubahan permintaan, sulit mencari
pemasok yang selalu siap dalam melakukan transaksi terkait penyediaan
persediaan bahan baku, sistem persaingan sempurna yang membuat harga bersifat
rigid.
Referensi
Carter,
William K. 2009. Akuntansi Biaya.
Salemba Empat. Jakarta
Keown,
Arthur J. dkk. 2005. Prinsip dan
Penerapan Manajemen Keuangan. Gramedia. Jakarta
Handoko,
T. Hani. 2003. Manajemen.
BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta